Prolog
Selama ini sering dikemukakan bahwa pendidikan merupakan hak asasi yang dimiliki oleh setiap warga negara. Tidak kurang konstitusi, undang-undang bahkan doktrin agama mengakui hal tersebut. Akan tetapi, kenyataan yang kita hadapi sekarang ini menunjukkan hal sebaliknya. Pendidikan menjadi barang mahal yang hanya terbeli oleh kalangan berkantong tebal. Sementara masyarakat dengan kemampuan ekonomi pas-pasan semakin kecil peluangnya untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan yang layak. Dalam pandangan penulis, semakin mahalnya biaya pendidikan tidak lepas dari faktor yang paling mendasar, pemahaman kita terhadap arti pendidikan itu sendiri.
;
Tercerabutnya Sebuah Makna
Pengertian bebas pendidikan adalah “sebuah proses merubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pengajaran dan pelatihan”. Dalam pengertian yang demikian, pendidikan dimaknai secara luas mencakup setiap usaha untuk membentuk dan merubah perilaku seseorang dalam arti yang positif melalui sebuah proses transfer pengetahuan dan pembiasaan agar peserta didik memiliki sikap dan perilaku seperti yang diharapkan. Langefeld dan Heageveld mempertegas sikap dan perilaku yang diharapkan dengan batasan untuk mencapai kedewasaan.
Mengacu pada pengertian di atas, pada dasarnya pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dengan metode dan media apa saja, yang penting peserta didik bisa memiliki sikap “kedewasaan” dalam arti seluas-luasnya. Inti dari pengertian ini terletak pada dua hal, proses dan hasil. Proses mencakup upaya “merubah’ dan “membentuk” sikap dewasa, sedangkan hasil berupa terwujudnya sikap yang diharapkan pada diri si peserta didik.
Dalam perkembangannya, makna pendidikan mengalami pergeseran dan penyempitan manakala pendekatan “formalsasi” mengambil alih cara pandang terhadap pendidikan itu sendiri. Saat ini, pendidikan identik dengan sekolah. Seseorang disebut telah mengenyam pendidikan jika pernah atau telah menempuh sekolah. Orang terdidik dipahami sebagai mereka yang telah lulus dan memiliki gelar tertentu yang diperoleh dari proses belajar mengajar di lembaga formal, sekolah dan Perguruan Tinggi.
Barangkali tidak ada yang salah dengan pendekatan formal, akan tetapi jika direnungi lebih mendalam, pergeseran makna pendidikan ini telah mencerabut beberapa hal dari makna pendidikan; Pertama, dalam pendekatan formal penyelenggara pendidikan hanya dibatasi pada institusi-institusi resmi semisal sekolah dan Perguruan Tinggi, sementara pendidikan yang diselenggarakan perorangan atau institusi non formal tidak diakui; Kedua, dalam pendekatan formal, pengakuan terhadap keberhasilan suatu pendidikan dibuktikan “hanya” dengan bukti tertulis berupa ijazah atau sejenisnya. Pendidikan formal kurang memperhatikan pembentukan sikap dan perilaku peserta didik; Ketiga, pendekatan formal disadari atau tidak telah membatasi hak-hak publik untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan itu sendiri, sebab manakala pendidikan dipersempit menjadi sekolah berimplikasi pada perlunya syarat dan aturan formal, termasuk di dalamnya cost yang harus dibayar. Akan tetapi, yang paling berbahaya sesungghnya adalah hilangnya orientasi penanaman moralitas sehingga saat ini seorang terdidik dengan kapasitas intelektual cemerlang belum tentu memberikan manfaat pada masyarakat atau bahkan menyalahgunakan pengetahuannya untuk menciptakan kerusakan.
Komersialisasi Pendidikan; Hilangnya “Ruang Publik”
Ruang publik sesungguhnya sebuah konsep yang muncul dari kajian filsafat. Ruang publik dimaknai sebagai sebuah area yang boleh diakses oleh siapa saja pemanfaatannya, tempat berinteraksi tanpa sekat, ruang bertegur sapanya ide dan gagasan. Dalam pemaknaan sempit, ruang publik sering merujuk pada batasan-batasan fisik semacam taman kota, alun-alun, pedestrian dan sebagainya.
Dilihat dari kebebasan memperoleh akses, pendidikan dapat dikategorikan sebagai salah satu wujud ruang publik dalam arti siapa saja berhak mendapatkannya. Dalam tata kehidupan bernegara pendidikan menjadi salah satu hak setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah tanpa adanya diskriminasi. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pendiri negara ini yang secara eksplisit mengamanatkan pelayanan pendidikan dalam konstitusi dan diimplementasikan melalui berbagai kebijakan. Sebagai contoh, program wajib belajar 9 tahun yang diterapkan sejak era reformasi menjadi bukti sahih akan kesadaran tersebut.
Meskipun secara konsep dan kebijakan pemerintah telah berupaya memberikan “hak publik” atas pendidikan, akan tetapi dalam pelaksanaannya belum semua warga negara memperoleh hak mereka tersebut. Faktanya, sekalipun program wajib belajar relatif berhasil tetapi masih data Tahun 2009 menunjukan masih ada rata-rata 2 sampai 3 persen siswa putus belajar setiap tahunnya dengan rincian 600.000 – 700.000 siswa tingkat sekolah dasar dan 150.000-200.000 siswa tingkat SMP. Banyak faktor pemicu tingginya angka sekolah tersebut, di antaranya kemiskinan dan akses sekolah yang terlalu jauh. Fakta menunjukkaan bahwa daerah yang memiliki pendapatan rendah, maka angka putus sekolahnya pun tinggi. Lima provinsi yang memiliki nilai produk domestik regional bruto (PDRB) terendah dari 28 provinsi adalah Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Gorontalo dan Maluku. (kompas, 12 Pebruari 2009). Kenyataan ini semakin mengukuhkan bahwa pendidikan sekalipun diakui sebagai hak public, tetap saja tidak terjangkau oleh lapisan masyarakat yang tidak cukup mampu secara ekonomi. Apalagi jika melihat praktik di kota-kota besar. Di Yogyakarta misalnya yang dikenal sebagai kota pendidikan, untuk bisa masuk Sekolah Dasar bahkan TK dan play group berkulitas, orang tua calon siswa harus rela merogoh kocek dalam-dalam untuk membayar sumbangan awal yang angkanya sampai menyentuh angka jutaan rupiah. Bahkan tidak jarang besaran sumbangan menentukan peluang diterima atau tidaknya calon siswa. Akibatnya jelas, calon siswa dari keluarga tidak mampu tipis kemungkinan dapat diterima sekalipun memiliki kemampuan akademik bagus. Praktik seperti ini apa lagi jika bukan komersialisasi pendidikan?
Komersialisasi pendidikan tidak saja terjadi pada level sekolah, bertepatan dengan masa pendaftaran perguruan tinggi saat ini, pemberitaan media massa beberapa kali merilis banyak perguruan tinggi yang “menjual diri” dengan membebankan sejumlah biaya bagi calon mahasiswa. Hanya untuk sekedar meengambil formulir pendaftaran calon mahasiswa harus membayar biaya yang besarnya bervariasi antara 250 ribu sampai jutaan. Bukan itu saja, sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Jawa Tengah mencantumkan klausul kewajiban membayar sumbangan yang besar kecilnya mempengaruhi apakah calon mahasiswa tersebut bisa diterima masuk atau tidak. Besarnya sumbangan tersebut dimulai 4 juta sampai 250 juta bahkan bisa lebih. (Pewarta Indonesia, 7 Oktober 2009). Masih layakkah pendidikan disebut sebagai hak publik?
Epilog: Redefinisi Pendidikan
Sungguh ironi melihat praktik komersialisasi pendidikan yang masih kerap dijumpai di negeri ini. Komersialisasi bukan saja telah mengingkari amanat konstitusi dan agama, lebih mendasar komersialisasi pendidikan nyata-nyata telah merenggut hak yang paling dasar dari manusia, sama halnya merenggut hak untuk hidup. Pertanyaannya, masih adakah jalan keluarnya?
Hampir bisa dipastikan jawaban atas pertanyaan ini selalu optimis, “masih”. Akan tetapi, sejumlah kebijakan pemerintah nampak tidak berdaya mengendalikan praktik komersialisasi pendidikan. Bahkan jika kebijakan itu dirumuskan sendiri oleh pakar, praktisi dan mereka yang mengaku peduli dengan pendidikan. Oleh karena itu, menurut penulis sudah saatnya kembali pada aspek yang paling mendasar, yakni mengembalikan pemahaman bersama atas pendidikan sebagai sesuatu yang tidak harus dibatasi oleh syarat-syarat formal yang kaku. Tetapi pemahaman ini tidak berarti apa-apa jika tidak diikuti dengan pengakuan secara resmi oleh penguasa atau pemerintah. Dalam konteks yang deemikian, pemerintah sudah saatnya mengakui “kembali” eksistensi sistem pendidikan di tanah air yang sangat beragam. Barangkali pemerintah harus menyetarakan pendidikan seperti Pesantren, madrasah, dan system pendidikan lain yang diselenggarakan masyarakat, sejajar dengan sistem pendidikan formal. Sebab sekalipun saat ini sudah ada pengakuan terhadap system-sistem pendidikan tersebut, tetapi masih setengah hati. Harapan akhir dari semua itu tidak lain, agar pendidikan benar-benar menjadi ruang publik yang bisa dinikmati oleh Siapa saja. Semoga.
0 Responses to KOMERSIALISASI PENDIDIKAN