Content feed Comments Feed

Pendidikan yang Aneh

Diposting oleh tips blogger keren Rabu, 14 Juli 2010

Tiap kali ada pembicaraan tentang keganjilan sistem pendidikan nasional kita, aku pasti tertarik ikut urun rembug. Dan yang terbaru adalah tulisan Okta tentang ujian kompetensi di sekolah kejuruan yang justru lebih mengutamakan ujian teori daripada ujian praktik.
Sistemnya adalah, bila ujian teori gagal, siswa dinyatakan gagal sekalipun berhasil meraih nilai supersempurna di ujian praktik. Tapi nilai ujian teori bisa menolong nilai ujian praktik yang minim. Aku jelas kaget. Lhoh, ini maksudnya apa? Sejak kapan teori jadi lebih penting daripada praktik?
David Beckham bisa ngetop dan kaya raya karena langsung praktik main bola dan bikin gol lewat tendangan mlengkung, bukannya gara-gara lulus ujian teori dengan hapal luar kepala definisi sepak bola, sejarah penciptaan tiang gawang, atau klasifikasi penendang penalti.
Danny Boyle juga jadi sineas yang berhasil karena langsung praktik bikin Slumdog Millionaire, dan bukannya malah sibuk bikin disertasi tentang sejarah perfilman lengkap dengan glossary arti kata “Slumdog” dan arti kata “Millionaire” menurut Oxford English Dictionary edisi terbaru!
Dan aku makin nggak mudeng karena aturan itu justru diterapkan di sekolah kejuruan tempat seorang alumnus harusnya dinilai sepenuhnya dari kompetensi skill dan karya nyata dia (yang berarti hasil praktiknya) dan bukan dari kelincahan otaknya menghapalkan sederetan definisi, klasifikasi, etimologi, plus kronologi secara sistematis.
Kalau aku disuruh ikut ujian bareng Okta dan teman-temannya, yakin buanget aku pasti nggak lulus. Aku sudah bisa nyari duit sendiri sejak 1992 dari hasil nulis, tapi kosong melompong kalau misal ditanya “apa itu novel?”, “apa batasan cerpen?”, atau “sebutkan klasifikasi majalah remaja menurut Bausch & Lombs”.
Dan inilah hasilnya di sebuah negeri yang mementingkan teori daripada praktik. Orang pada pinter kampanye mengobral janji jadi presiden atau gubernur atau walikota/bupati, tapi hingga tahun 2009 ini Semarang tetap banjir dan ada desa terpencil di Kalimantan yang malahan dapet pasokan listrik dari Malaysia. Lha, terus PLN kerjanya apa? Main Spider Solitaire!?
Masalahnya, udah sejak SMP dulu aku eneg pada sistem pendidikan kita dan kurikulum sekolahnya. Sudah jelas aku pengin jadi pengarang, kenapa malah disuruh ngapalin tetapan Avogadro? Sudah jelas temanku pengin jadi dokter, kenapa malah dipaksa menghapalkan pada tanggal berapa Revolusi Prancis berlangsung?
Hubungane ki opooooooo….!?
Dari apa yang kupelajari dalam hidupku dan dari orang-orang hebat yang jadi inspirasiku, yang terpenting untuk menaklukkan hidup adalah, seperti kata almarhum Bapak dulu, skill. Itu yang membedakan kita dari orang lain dan memberi kita nilai di tengah masyarakat. Itulah senjata andalan masing-masing dari kita.
Lucunya, masa sekolah terutama SMP dan SMA nggak berorientasi ke penemuan dan pendalaman skill, tapi malah membebani peserta didik dengan materi-materi yang nggak berhubungan dengan keterampilan.
Matematika emang penting untuk membiasakan otak berpikir sistematis dan rinci dalam menghadapi masalah, tapi kecuali untuk yang emang pengin bercita-cita jadi matematikawan profesional, buat apa yang lain-lainnya harus mengaduk-aduk matematika sampai ke urusan yang terlalu dalem seperti diferensial integral atau kalkulus?
Dulu pas sekolah, mapel matematika dan fisika bisa muncul sampai enam jam pelajaran berdurasi masing-masing 45 menit tanpa iklan. Sedang mapel keterampilan hanya diajarkan malu-malu selama satu jam pelajaran (itupun ngajarin teori doang!) tiap hari Sabtu.
Dan hasilnya, sekali lagi, adalah yang kerap kita lihat selama ini. Para pemuda harapan bangsa yang berusia 25-an dan bergelar sarjana berkerumun melempar kertas ijazah sekenanya dan senyautnya ada lapangan kerja yang bisa diraih tanpa perlu ada hubungannya dengan disiplin ilmu yang dipelajari di kuliahan, karena mereka nggak pernah diberi kesempatan untuk “menemukan” hidup mereka sendiri dan mempelajari satu (satu saja) skill spesifik yang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan masing-masing sejak dari usia dini.
Kalau aku jadi Mendiknas atau apes-apese anggota DPR RI, fokus perjuangan politikku adalah mengubah pendidikan nasional dari ganjil bin uaneh seperti sekarang ini menjadi pendidikan yang berorientasi ke skill dan budi pekerti.
Pas SD, semua pelajaran penting masih diberikan. Begitu anak mau masuk SMP, mereka menjalani psikotes dan tes IQ plus EQ untuk mengetahui “arah jalan hidup” yang seharusnya mereka tempuh. Lalu mereka menerima pelajaran yang sudah dibagi-bagi ke dalam “fakultas” sesuai pemindaian minat-bakat-kemampuan dari hasil tes-tes itu. Jadi bukan tes iso mlebu po ra nang satu SMP tertentu, tapi tes mengenai diri mereka sendiri!
Pelajaran wajib yang diberikan hanya empat: matematika, Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan teknologi informasi (komputer, gadget, internet, game!). Di luar itu, mereka hanya perlu mempelajari mapel yang sesuai dengan “fakultas” mereka, mirip kurikulum di SMA QT. Yang bakat ngarang ya langsung belajar ngarang praktik. Yang bakat fotografi ya langsung disuruh jeprat-jepret. Yang pengin jadi dokter ya langsung belajar biologi mendalam.
Selain cocok dengan minat-bakat, sekolah pasti akan terasa menyenangkan. Fun. Siapa sih yang nggak senang terjun dan berkubang langsung ke dunia yang emang diminati?
Nah, masuk SMA, mapel-mapel makin terfokus ke satu pokok bahasan skill tertentu. Harapannya, ketika masuk perguruan tinggi, semua anak didik sudah langsung bisa nyambi kerja part-time di kerjaan-kerjaan yang sesuai dengan skill masing-masing.
Hasilnya, sesudah lulus S1, dari hasil pengalaman kerja dan penggalian koneksi-koneksi plus relasi-relasi bisnis selama kerja part-time itu, mereka bisa langsung mendapatkan penempatan kerja permanen tanpa harus keroyokan ikut expo lowongan kerja atau mondar-mandir bawa map berisi ijazah ke aneka macem kantor sakketemune sakdalan-dalan!
Lalu di mana letak pendidikan agama dalam visi kurikulumku? Agama nggak masuk pelajaran, tapi diberikan dalam ekskul wajib. Fokus pendidikannya lebih ke arah gemblengan budi pekerti dan nggak melulu hapalan syariah plus rukun-rukun dan urusan halal-haram.
Harapannya, murid yang berbudi pekerti baik pasti akan bisa dengan gampang menjalankan kewajiban agama secara praktik langsung dan bukan cuman, itu tadi, ngapalin syariah. Nggak kayak saat ini. Orang-orang pada hapal ayat-ayat tapi ketika masuk ke eksekutif atau legislatif malah pada sibuk korupsi. Itu kan sama aja dengan istilah STMJ: solat terus, maksiat jalan!
Insya Allah fokus program ini tadi akan jadi perjuangan politikku saat nanti nyaleg di Pemilu 2014 nanti. Bidangku di pendidikan dan kesenian, dengan slogan “BUILDING ARTS & EDUCATION TO A COLORFUL FUTURE

0 Responses to Pendidikan yang Aneh

Posting Komentar

silahkan protes